Wednesday, February 09, 2011

Memasuki Tahun Baru dengan Semangat Hijrah

Sahabat Hikmah…
Selamat Tahun Baru Hijriyah
Selamat memasuki bulan Muharam 1432 H

Bulan Muharam adalah termasuk dalam BULAN HARAM.
Yaitu bulan yang sangat dihormati selain bulan Dzulqaidah, Dzulhijah, dan Rajab, sehingga ummat Islam diharamkan berperang dan bermusuhan pada bulan itu. Bulan haram adalah merupakan bulan gencatan senjata atau bulan perdamaian. Islam harus sesuai dengan namanya yang berarti SELAMAT dan DAMAI
sehingga tidak boleh mengobarkan api peperangan, kecuali jika diperangi terlebih dahulu.

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat BULAN HARAM. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS At Taubah : 36)


Bulan Muharam adalah SYAHRULLAH (Bulan Allah).
Para ulama memberikan apresiasi luar biasa terhadap bulan Muharram. Mereka berlomba-lomba meningkatkan kualitas ibadah, seperti puasa sunnah, sedekah, sholat malam. Dengan harapan, mereka benar-benar memperoleh berkahyang sangat melimpah. Jika saja kita melakukan amal ibadah maka pahalanya akan dilipatgandakan sebaliknya jika kita melakukan maksiat maka dosanya pun dilipatgandakan pula.

Sisi Historis

1. Pada tanggal 10 Muharram (‘Asyura), Allah menyelamatkan umat Nabi Musa dari incaran pasukan Fir’aun.
Sebelum datangnya bulan Ramadhan, shaum pada tanggal 10 Muharram hukumnya wajib namun setelah Allah mewajibkan shaum di bulan Ramadhan maka shaum di bulan Muharram tersebut menjadi sunnah.

Hadits dari Siti Aisyah RA yang diriwayatkan Imam Bukhori:
Rasulullah SAW memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka. (HR Bukhari)

Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa ketika Nabi Saw datang ke Madinah, ia melihat seorang Yahudi yang sedang melaksanakan shaum satu hari, yaitu ‘Assyura (10 Muharram). Mereka berkata: “Ini adalah hari yang agung yaitu hari Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan keluarga Fir’aun. Maka Nabi Musa As berpuasa sebagai bukti syukur kepada Allah.” Rasul Saw bersabda: “Saya lebih berhak mengikuti Musa as dari pada mereka.” Maka beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa. (HR. Bukhari).

Meskipun ada kemiripan dengan shaumnya orang-orang Yahudi namun Rasulullah menegaskan dan juga memerintahkan kepada umatnya agar berbeda dengan apa yang dilakukan oleh orang Yahudi.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah pun sempat diprotes oleh umat Islam di Madinah: “Ya Rasulallah, hari itu (’Asyura) diagungkan oleh orang Yahudi.” Maksudnya, kenapa umat Islam mengerjakan sesuatu persis seperti yang dilakukan oleh umat Yahudi? Beliau lalu bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Setelah itu, tidak hanya disunnahkan puasa pada tanggal 10 tapi juga tanggal 9 Muharram. Sayang, sebelum datang tahun berikutnya Rasulullah telah wafat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal 9 dimaksudkan agar tidak persis seperti yang dilakukan oleh umat pada masa Nabi sebelumya, yakni Yahudi dan Nashrani. (Fathul Bari 4: 245)

Dalam Kitab Zaadul Ma’aad disebutkan bahwa shaum di bulan ‘Asyura dibagi menjadi tiga urutan, yaitu: urutan yang pertama, shaum pada tanggal 10 ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9-10-11). Urutan yang kedua, shaum tanggal 9 dan 10. Shaum pada tanggal tersebut banyak disebutkan dalam sejumlah hadits. Urutan yang ketiga yakni shaum pada tanggal 10 saja.

Dari ketiga urutan di atas yang paling kuat menurut para ulama adalah shaum selama 3 hari (9,10, dan 11) dengan alasan kehati-hatian, yaitu kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka shaum tanggal sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan shaum tasu’a (tanggal 9) dan ‘Asyuro (tanggal 10).

Fadhilah atau keutamaan puasa 'asyura :

Aku tidak pernah mendapati Rasulullah SAW menjaga puasa suatu hari karena keutamaannya dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan. (HR Muslim)

Puasa ‘Asyura disandingkan dengan puasa Ramadhan. Rasulullah SAW juga bersabda:
Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam. (HR Muslim)

Keutamaan yang didambakan dari puasa ‘Asyura adalah dapat menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu. Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abu Qatadah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Puasa di hari ‘Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu. (HR Abu Daud)

Begitu besar keutamaan yang terkandung pada puasa di hari ini. Bahkan sebagian ulama salaf menganggap puasa ‘Asyura hukumnya wajib. Namun berdasarkan hadits ‘Aisyah di atas, kalaupun puasa ini dihukumi wajib maka kewajibannya telah dihapus dan menjadi ibadah yang sunnah.

2. Khalifah Umar bin Khattab menjadikan bulan ini sebagai awal bulan dalam kalender Hijriyyah.
Pada awalnya ada di antara sahabat yang mengusulkan Rabi’ul Awal bulan nabi Muhammad lahir atau bulan Ramadhan sebagai awal bulan. Namun Umar Radliyallahu ’anhu sebagai Khalifah beserta sejumlah sahabat lainnya lebih memilih bulan Muharram sebagai bulan yang pertama dalam Islam karena pada bulan Muharram adalah bulan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang sebelumnya bernama “Yastrib”. (Sebenarnya kejadian hijrah Rasulullah tersebut terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal). Hal ini adalah agar semangat HIJRAH Rasulullah membentuk masyarakat MUSLIM MADANI di Madinah dan meninggalkan masyarakat JAHILIYAH akan memberikan semangat pada setiap awal tahun baru Islam.

Jadi inti dari peringatan tahun baru Hijriah adalah pada soal PERUBAHAN, maka ada baiknya momen pergantian tahun ini kita jadikan sebagai saat-saat untuk merubah menjadi lebih baik. Itulah fungsi peringatan tahun baru Islam.


Ada 3 pesan perubahan dalam menyambut Tahun Baru Hijriah ini, yaitu:
1. Hindari kebiasaan-kebiasaan lama / hal-hal yang tidak bermanfaat pada tahun yang lalu untuk tidak diulangi lagi di tahun baru ini.
2. Lakukan amalan-amalan kecil secara istiqamah, dimulai sejak tahun baru ini yang nilai pahalanya luar biasa dimata Allah SWT, seperti membiasakan shalat dhuha 2 raka’at, qiyamullail, bersedekah kepada fakir miskin, menyantuni anak-anak yatim, tilawah Al Quran, dll.
3. Usahakan dengan niat yang ikhlas karena Allah agar tahun baru ini jauh lebih baik dari tahun kemarin dan membawa banyak manfaat bagi keluarga maupun masyarakat muslim lainnya.

Hijrah Spiritual dan Hijrah Amaliah
Bagi kita umat Islam di Indonesia, sudah tidak relevan lagi berhijrah berbondong-bondong seperti hijrahnya Rasul, mengingat kita sudah bertempat tinggal di negeri yang aman, di negeri yang dijamin kebebasannya untuk beragama, namun kita wajib untuk hijrah dalam makna “hijratun nafsiah” dan “hijratul amaliyah” yaitu:
Perpindahan secara spiritual dan intelektual,
Perpindahan dari kekufuran kepada keimanan,
dengan meningkatkan semangat dan kesungguhan dalam beribadah,
Perpindahan dari kebodohan kepada peningkatan ilmu,
dengan mendatangi majelis-majelis ta’lim dan membaca,
Perpindahan dari kemiskinan kepada kecukupan secara ekonomi,
dengan kerja keras dan tawakal.

(Memakai jilbab dan tutup aurat salah satu hijrah Spiritual dan amaliah)

Pendek kata niat yang kuat untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kesejahteraan umat sehingga terwujud “rahmatal lil alamin” adalah tugas suci bagi umat Islam, baik secara indifidual maupun secara kelompok. Tegaknya Islam di bumi nusantara ini sangat tergantung kepada ada tidaknya semangat HIJRAH dari umat Islam itu sendiri.

Semoga dalam memasuki Tahun Baru Hijriah 1432 Hijriyah ini, semangat HIJRAH Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetap mengilhami jiwa kita menuju kepada keadaan yang lebih baik dalam segala bidang, sehingga predikat yang buruk yang selama ini dialamatkan kepada umat Islam akan hilang dengan sendirinya, dan pada gilirannya kita diakui sebagai umat yang terbaik, baik agamanya, baik kepribadiannya, baik moralnya, tinggi intelektualnya dan terpuji seperti yang telah terjadi pada masa-masa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat, sehingga Allah memujinya dalam Al Quran:

”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran : 110)

Wallahu a’lam bi showab

O.F.A