Kita myakini bahwa syura (bermusyawarah) adalah manhaj untuk sebuah jamaah, asas tegaknya hukum, dan jalan mendapatkan kebenaran. Hal itu tejadi dalam ruang lingkup kepemimpinan syariah, di mana nash-nash yang menjelaskannya sangat terpercaya sehingga wajib untuk diterima dan dilaksanakan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan Nabi-Nya untuk bermusyawarah padahal dia ma’sum dan terbimbing oleh wahyu. Tujuannya, agar orang-orang sesudahnya mengikuti langkah beliau ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka serta bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau membualatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS. Ali Iman: 159)
Allah juga menjadikan syura sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari jama’ah kaum muslimin. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Syura: 38)
Bahkan perintah syura ini meluas sampai pada masalah-masalah keluarga, menyusukan anak dan menyapihnya. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا
“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik.” (QS. Al-Thalaq: 6)
Rasalullah shallallaahu 'alaihi wasallam telah melaksanakan konsep ini. Maka beliau adalah orang yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu
“Aku tidak melihat seorang pun yang lebih banyak bermusyawarah dengan sahabatnya daripada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam.” (HR Abdurrazzaq bin Mushhannaf, Imam Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Kemudian khulafa’ rasyidin mengikuti jejak langkah beliau ini. Al-Baihaqi meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih, dari Maimun bin Mihran berkata, “Adalah Abu Bakar al-Shiddiq, apabila menghadapi suatu masalah maka beliau mencari (jawabannya) dalam Kitabullah. Jika ia mendapatkan keputusan di dalamnya, maka beliau memutuskan dengannya. Apabila beliau mengetahui jawabannya dari sunnah Rasulullah, maka beliau memutuskan dengannya. Dan jika tidak mengetahuinya, beliau keluar dan bertanya kepada kaum muslimin tentang sunnah. Dan jika hal itu sulit baginya, dia memanggil para pemuka dan ulama’ kaum muslimin, lalu bermusyawarah dengan mereka. Begitu juga Umar, dia melakukan hal itu.”
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, bahwa Umar radhiyallaahu 'anhu,
مَنْ بَايَعَ رَجُلًا عَنْ غَيْرِ مَشُورَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَلَا يُبَايَعُ هُوَ وَلَا الَّذِي بَايَعَهُ تَغِرَّةً أَنْ يُقْتَلَا
“Barangsiapa membai’at seseorang tanpa musyawarah dari kaum muslimin maka ia dan orang yang membaiatnya tidak boleh diikuti (dibai’at), khawatir keduanya akan dibunuh.” Hal itu akan bisa membahayakan keduanya sehingga terjadi tindak pembunuhan terhadap keduanya.
"Sesungguhnya para imam (pemimpin) sesudah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengajak musyarah para ulama yang terpercaya dalam perkara-perkara yang mubah untuk mengambil yang paling mudah." (al-hadits)
Imam al-Bukhari dalam Shahihnya berkata, “Sesungguhnya para imam (pemimpin) sesudah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam mengajak musyarah para ulama yang terpercaya dalam perkara-perkara yang mubah untuk mengambil yang paling mudah. Dan apabila sudah jelas dalam Al-Kitab dan Sunnah, mereka tidak melangkahinya dengan memilih yang lain . . . dan para qurra’, mitra Umar dalam bermusyawarah terdapat orang tua dan muda. Dan Umar sangat komitmen dengan Kitabullah 'Azza wa Jalla.